
Fenomena baru di mal-mal elite Ibu Kota adalah mushola eksekutif. Dua mal papan atas Pacific Place (PP) dan Senayan City (Sency) yang berada di jantung kota Jakarta secara khusus mendedikasikan sebuah mushola jenis ini. Meski tak seekslusif di dua plasa mewah itu, Plasa FX juga memberikan tempat beribadah bagi umat Islam ini.
Sebenarnya, mal Plasa Indonesia memulai lebih dulu, meski tak banyak "peminat." Pengelolaannya tidak sebaik di PP. Plasa Senayan idem dito. Di PS lokasinya berada di tempat parkir sehingga kesan eksekutifnya menjadi "hilang." Plasa elite yang lama bertengger dan menjadi favorite di kalangan jetset di Jakarta itu hanya menempatkan mushola sebagai pelengkap dan bukan sebagai fasilitas.
Sebenarnya, mal Plasa Indonesia memulai lebih dulu, meski tak banyak "peminat." Pengelolaannya tidak sebaik di PP. Plasa Senayan idem dito. Di PS lokasinya berada di tempat parkir sehingga kesan eksekutifnya menjadi "hilang." Plasa elite yang lama bertengger dan menjadi favorite di kalangan jetset di Jakarta itu hanya menempatkan mushola sebagai pelengkap dan bukan sebagai fasilitas.
Mal-mal lain semacam Cilandak Town Square (Citos) dan hampir semua square yang berdiri di Jakarta dan kota satelitnya, termasuk Pondok Indah Mal (PIM), Central Park, Mal Taman Anggrek (MTA), serta "ratusan" ITC menempatkan musholanya sebagai tempat "buang hajat."
Shalat dianggap sebagai aktivitas melepaskan hajat, sehingga fasilitasnya dianggap tidak perlu lebih baik dari fasilitas orang "buang hajat." Juga pengelolaannya. Di sebagian mal, fasilitas buang hajat bahkan jauh lebih baik daripada fasilitas "melepas hajat" tadi. Ini bisa kita lihat hampir di semua mal yang diberi brand ITC. Di bilangan elite Senayan, terdapat STC (Senayan Trade Center). STC membangun mushola di tempat yang sumpek di lantai bawah tanah dan lebih tepat dianggap tempat "melepas hajat."
Tren mushola di mal memang seharusnya terjadi. Membangun mushola yang baik dengan manajemen yang rapi adalah sebuah keniscayaan. Ya sebuah keniscayaan karena sejatinya manajemen mal ingin para pengunjungnya tak perlu beranjak ke mana-mana dan menghabiskan uangnya di mal tersebut. Jika pengunjung keluar mal untuk menunaikan shalat dan tidak kembali, ini kerugian. Ditambah lalu lintas Jakarta yang krodit, tempat parkir yang selalu full, keluar mal sama artinya dengan meninggalkan mal untuk selamanya.
Negeri besar ini memang disesaki umat Islam. Setiap muslim memiliki kewajiban shalat lima waktu. Dengan kesadaran kalangan menengah atas muslim beribadah di tengah kesibukannya, mushola di mal adalah jawaban.
Yang menarik dari mushola di mal adalah tempat bersuci dari hadast (thaharoh). Tempat wudhu dan tempat kencing/najis. Di satu sisi pengelola mal ingin mengakomodasi atau menjaring pengunjung kalangan menengah atas yang muslim dengan menyediakan mushola, di sisi lain pengelola mal menerapkan "asas" toilet kering.
Toilet kering acap tidak memedulikan faktor paling urgent dari thaharoh yaitu menghilangkan najis. Ambil contoh mushola di mal Pacific Place, di Kawasan SCBD. Mushola di sini menurut penulis merupakan mushala di mal yang dikelola sangat baik termasuk kondisi fisiknya. Selain ber-AC, karpet yang bagus, pengharum ruangan, penjaga yang santun dan berseragam, juga sistem drainase di tempat wudhunya: perfect. Pengelola bahkan menyediakan self service, free semir sepatu, dan minuman aqua. Perilaku jamaahnya pun: berkelas, tertib, dan educated.
Mushola ini menerapkan toilet kering. Toilet yang tidak menjadikan bersuci dari hadast sebagai ukuran utama. Toilet ini hanya membersihkan air kencing dan abai terhadap kebersihan (baca: kesucian) kelaminnya--asal air kencing yang najis itu. Padahal, ukuran sahnya shalat ditentukan oleh suci tidaknya empat shalat, pakaian, dan anggota tubuh seseorang. Bersuci dari hadast adalah syarat mutlak.
Kondisi ini diperparah oleh perilaku para jamaah yang tidak teredukasi dalam melaksanakan thaharoh. Terutama membersihkan kelamin dari najis dan bukan membersihkan barang (baca:air) najisnya. Akibatnya keabsahan shalat bisa menjadi taruhan.
Mal-mal lain yang musholanya lebih "rendah" dari Pacific Place juga menghadapi masalah yang sama. Bahkan lebih buruk.
Rupanya kondisi ini tidak berjalan sendiri. Hampir semua masjid di Jakarta (terutama yang penulis kunjungi) tidak lebih baik. Masjid Istiqlal misalnya. Sistem penyucian dari najis (thaharoh) justru lebih buruk dari mushola di Pacific Place. Masjid Istiqlal rentan terhadap najis. Para jamaahnya juga rentan menyimpan najis. Perilaku membersihkan najis juga tidak teredukasi dengan baik.
Sejumlah masjid besar seperti At Tin juga tidak lebih bersih (baca: suci). Ini berbeda dengan Masjid Sunda Kelapa yang menyediakan dua jenis toilet: basah dan kering. Toilet kering diantisipasi juga sebagai penyuci alat kelamin dan antisipasi najis dari proses pembersihan barang najis (baca: air seni).
Toilet kering merupakan solusi dari stigma jorok yang menempel di hampir semua masjid dan mushola di Indonesia serta perilaku umatnya. Tetapi solusi itu berhenti pada alatnya. Sistem nilainya tetap dibiarkan berserakan dan tidak diubah. Sistem nilai thaharoh bukan menjadi mahzab utama yang melandasi bangunan peturasan di semua tempat ibadah.
Masjid kecil PP Muhammadiyah adalah contoh kecil yang mengusung sistem nilai thaharoh ini. Masjid Al Ikhlas di kawasan Senayan Residence adalah contoh buruk sistem nilai thaharoh.
Shalat merupakan ibadah paling utama dalam Islam. Perintah shalat bahkan diabadikan dalam peristiwa Isra' Mi'raj. Menjelang puasa, ibadah wajib ini juga sebaiknya menjadi perhatian utama semua pihak, khususnya MUI. Selain menghilangkan kesan dan stigma jorok di lingkungan tempat ibadah, perhatian pada sistem thaharoh ini merupakan kunci pelaksanaan ibadah lainnya.
Daripada MUI mengeluarkan fakta premium haram, yang kontroversial itu, sebaiknya MUI menekuk mukanya ke bawah, merogoh kembali domain fungsi dan tugasnya. Benahi dulu sistem thaharoh di Masjid Istiqlal, bangun stigma bersih dan suci di semua masjid dan mushola, bangun petuasan dan tempat wudhu yang berstandar dan bersertifikat suci. Pekerjaan ini jauh lebih mulia daripada MUI mengharamkan premium, apalagi mengharamkan keberagamaan.
Jika Istiqlal saja masih berpotensi najis, bagaimana MUI bisa memfatwakan prostitusi Dolly adalah haram dan kotor.
Akhirnya kita sambut bulan Ramadhan dengan hati gembira, berbunga-bunga, semoga Allah SWT memberikan keberkahan, kesuksesan, dan kemuliaan bagi kita semua. Amin.
oleh: Habe Arifin
Shalat dianggap sebagai aktivitas melepaskan hajat, sehingga fasilitasnya dianggap tidak perlu lebih baik dari fasilitas orang "buang hajat." Juga pengelolaannya. Di sebagian mal, fasilitas buang hajat bahkan jauh lebih baik daripada fasilitas "melepas hajat" tadi. Ini bisa kita lihat hampir di semua mal yang diberi brand ITC. Di bilangan elite Senayan, terdapat STC (Senayan Trade Center). STC membangun mushola di tempat yang sumpek di lantai bawah tanah dan lebih tepat dianggap tempat "melepas hajat."
Tren mushola di mal memang seharusnya terjadi. Membangun mushola yang baik dengan manajemen yang rapi adalah sebuah keniscayaan. Ya sebuah keniscayaan karena sejatinya manajemen mal ingin para pengunjungnya tak perlu beranjak ke mana-mana dan menghabiskan uangnya di mal tersebut. Jika pengunjung keluar mal untuk menunaikan shalat dan tidak kembali, ini kerugian. Ditambah lalu lintas Jakarta yang krodit, tempat parkir yang selalu full, keluar mal sama artinya dengan meninggalkan mal untuk selamanya.
Negeri besar ini memang disesaki umat Islam. Setiap muslim memiliki kewajiban shalat lima waktu. Dengan kesadaran kalangan menengah atas muslim beribadah di tengah kesibukannya, mushola di mal adalah jawaban.
Yang menarik dari mushola di mal adalah tempat bersuci dari hadast (thaharoh). Tempat wudhu dan tempat kencing/najis. Di satu sisi pengelola mal ingin mengakomodasi atau menjaring pengunjung kalangan menengah atas yang muslim dengan menyediakan mushola, di sisi lain pengelola mal menerapkan "asas" toilet kering.
Toilet kering acap tidak memedulikan faktor paling urgent dari thaharoh yaitu menghilangkan najis. Ambil contoh mushola di mal Pacific Place, di Kawasan SCBD. Mushola di sini menurut penulis merupakan mushala di mal yang dikelola sangat baik termasuk kondisi fisiknya. Selain ber-AC, karpet yang bagus, pengharum ruangan, penjaga yang santun dan berseragam, juga sistem drainase di tempat wudhunya: perfect. Pengelola bahkan menyediakan self service, free semir sepatu, dan minuman aqua. Perilaku jamaahnya pun: berkelas, tertib, dan educated.
Mushola ini menerapkan toilet kering. Toilet yang tidak menjadikan bersuci dari hadast sebagai ukuran utama. Toilet ini hanya membersihkan air kencing dan abai terhadap kebersihan (baca: kesucian) kelaminnya--asal air kencing yang najis itu. Padahal, ukuran sahnya shalat ditentukan oleh suci tidaknya empat shalat, pakaian, dan anggota tubuh seseorang. Bersuci dari hadast adalah syarat mutlak.
Kondisi ini diperparah oleh perilaku para jamaah yang tidak teredukasi dalam melaksanakan thaharoh. Terutama membersihkan kelamin dari najis dan bukan membersihkan barang (baca:air) najisnya. Akibatnya keabsahan shalat bisa menjadi taruhan.
Mal-mal lain yang musholanya lebih "rendah" dari Pacific Place juga menghadapi masalah yang sama. Bahkan lebih buruk.
Rupanya kondisi ini tidak berjalan sendiri. Hampir semua masjid di Jakarta (terutama yang penulis kunjungi) tidak lebih baik. Masjid Istiqlal misalnya. Sistem penyucian dari najis (thaharoh) justru lebih buruk dari mushola di Pacific Place. Masjid Istiqlal rentan terhadap najis. Para jamaahnya juga rentan menyimpan najis. Perilaku membersihkan najis juga tidak teredukasi dengan baik.
Sejumlah masjid besar seperti At Tin juga tidak lebih bersih (baca: suci). Ini berbeda dengan Masjid Sunda Kelapa yang menyediakan dua jenis toilet: basah dan kering. Toilet kering diantisipasi juga sebagai penyuci alat kelamin dan antisipasi najis dari proses pembersihan barang najis (baca: air seni).
Toilet kering merupakan solusi dari stigma jorok yang menempel di hampir semua masjid dan mushola di Indonesia serta perilaku umatnya. Tetapi solusi itu berhenti pada alatnya. Sistem nilainya tetap dibiarkan berserakan dan tidak diubah. Sistem nilai thaharoh bukan menjadi mahzab utama yang melandasi bangunan peturasan di semua tempat ibadah.
Masjid kecil PP Muhammadiyah adalah contoh kecil yang mengusung sistem nilai thaharoh ini. Masjid Al Ikhlas di kawasan Senayan Residence adalah contoh buruk sistem nilai thaharoh.
Shalat merupakan ibadah paling utama dalam Islam. Perintah shalat bahkan diabadikan dalam peristiwa Isra' Mi'raj. Menjelang puasa, ibadah wajib ini juga sebaiknya menjadi perhatian utama semua pihak, khususnya MUI. Selain menghilangkan kesan dan stigma jorok di lingkungan tempat ibadah, perhatian pada sistem thaharoh ini merupakan kunci pelaksanaan ibadah lainnya.
Daripada MUI mengeluarkan fakta premium haram, yang kontroversial itu, sebaiknya MUI menekuk mukanya ke bawah, merogoh kembali domain fungsi dan tugasnya. Benahi dulu sistem thaharoh di Masjid Istiqlal, bangun stigma bersih dan suci di semua masjid dan mushola, bangun petuasan dan tempat wudhu yang berstandar dan bersertifikat suci. Pekerjaan ini jauh lebih mulia daripada MUI mengharamkan premium, apalagi mengharamkan keberagamaan.
Jika Istiqlal saja masih berpotensi najis, bagaimana MUI bisa memfatwakan prostitusi Dolly adalah haram dan kotor.
Akhirnya kita sambut bulan Ramadhan dengan hati gembira, berbunga-bunga, semoga Allah SWT memberikan keberkahan, kesuksesan, dan kemuliaan bagi kita semua. Amin.
oleh: Habe Arifin